-
Published: 15 December 2020
-
Created: 15 December 2020
Cibinong, Humas LIPI. Indonesia memiliki kawasan batu gamping yang telah mengalami proses pelarutan menjadi kawasan karst yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Kawasan karst di Indonesia memiliki luas mencapai 154.000 km persegi dengan keunikan bentang alam dan ekosistem, baik di permukaan maupun di bawah permukaan.
Karst adalah bentang alam yang berkembang pada batu gamping/karbonat dan/atau dolomit yang dibentuk dan dipengaruhi proses pelarutan batu gamping oleh air. Dalam bahasa awan, karst dapat diartikan sebagai kawasan yang bercirikan dengan adanya pelarutan pada batuan oleh air atau disebut proses karstifikasi. Hal ini seperti adanya sinkholes, gua, dan perbukitan kapusr/karst. “Meski gelap, banyak hal menarik yang dapat kita pelajari dari kehidupan gua,” ungkap Cahyo Rahmadi Peneliti Bidang Penelitian Zoologi Pusat Penelitian Biologi dalam webinar Generasi Biologi: Mengungkap Biodiversitas di Dalam Gua dan Karst, pada Sabtu (12/12).
Dirinya menjelaskan profil karst terdiri dari dua bagian yaitu vegetasi dan epikarst. Epikarts terdiri dari tanah pucuk sebagai habitat vegetasi dan karst yang biasanya memiliki celah-celah yang berfungsi sebagai seluran air. Salah satu fenomena menarik karst adalah memiliki sistem perguaan yang memiliki sungai bawah tanah dengan panjang mencapai ribuan bahkan puluhan ribu meter. Contohnya Gua Salukkan Kallang yang panjangnya mencapai 12 km di Sulawesi Selatan, Luweng Jaran di Jawa Timur yang panjangnya mencapai 12 km lebih dan Ngalau Sangki yang mencapai 3,7 km di Sumatera Barat.
“Salah satu kawasan karst terkenal sebagai hutan karst yang dijadikan obyek wisata adalah Rammang-Rammang di Maros Sulawesi Selatan. Tempat ini sangat unik. Selain memiliki sistem perguaan yang tersambung, Rammang-Rammang juga memiliki beberapa gua yang terisolasi. Gua terisolasi ini seringkali memiliki ciri khas yang tidak tidak dimiliki gua lainnya dan endemisitas tersendiri. Oleh karena itu peran karst sangat penting karena menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi” ungkap Cahyo.
Dalam sebuah eksplorasi penelitian gua, menemukan jenis baru tidaklah mudah. Selain medan yang berat dibutuhkan keahlian khusus untuk dapat menjelajah di dalam gua. “Banyak hal yang dapat diteliti di dalam gua, mengecek suhu tanah, memeriksa proses pelapukan pada kayu, dan melakukan penangkapan pada beberapa satwa gua. Ketiadaan cahaya dalam gua cenderung membuat kelembaban lingkungan menjadi stabil. Meski tidak ada tumbuhan dan keanekaragamanya rendah gua adalah habitat yang potesial bagi spesies langka dan unik,” imbuh Cahyo.
Satwa gua yang unik biasanya ditandai dengan karakter yang khas. Hal ini karena proses adaptasi. Regressive adaption ditandai dengan ciri-ciri mata mengecil (nirmata), pigmen tubuh yang hilang, dan sayap kecil, bahkan tidak bersayap. Sedangkan ciri dari Progressive adaption adalah tungkai memanjang, antena panjang, dan organ perasa yang meningkat jumlahnya (bulu rambut).
Salah satu contoh satwa endemik terbesar yang pernah ditemukan dalam gua adalah jenis kecoa Miroblatta baai. “Beberapa fauna jenis baru yang pernah saya temukan di gua Sakulirang, yaitu 3 kalacemeti, 3 kaki seribu, 2 ikan, 1 kecoak dan 1 kepiting. Termasuk 1 genus baru, 3 new record (Cirolanidae, Bogidiellidae, Stylocellus). Beberapa jenis kalelawar juga banyak ditemukan di gua dan satwa ini memiliki peran penting,” ungkap Cahyo.
Masih banyak keanekaragaman hayati gua dan karst yang belum tereksplorasi dan masih tersimpan dalam gelapnya gua. Oleh karena itu karst sebagai aset perlu mendapat perhatian. “Karst adalah satu kesatuan ekosistem yang utuh yang memberikan jasa dan fungsi yang terkadang tidak bisa dihitung secara ekonomi. Perlu dilakukan upaya pemanfaatan yang bijak dalam mengelola karst baik dan kesadaran baik dari pemerintah dan masyarakat,” tutup Cahyo. (sa/ed.sl)